Rabu, 11 Januari 2017

Pejabat Publik Yang Humanis
CATATAN
Ali Muttaqin Syuryanto, M.Pd
(Pendidik dan pengamat sosial)

                Tergelitik hati pagi ini ketika melihat Koran pagi Berau Pos, Rabu 11 Januari 2017, rasa penasaran memang dan ingin segera  menyambar dan membacanya. Yang membuat tergelitik untuk segera membacanya adalah kata ‘humanis’ yang dipakai oleh wartawan dalam menulis headline beritanya.
                Mungkin saja atau hampir jarang kita temui kata itu atau karena kata itu yang seharusnya selalu ada dalam diri kita baik sebagai pejabat publik atau masyarakat biasa ketika kita berhadapan dengan orang lainnya. Atau munhgkin karena banyaknya kasus atau pengalaman yang kita dapatkan bahwa banyak pejabat publik atau sebagian besar yang bermuka masam ketika berhadapan dengan masyarakat yang sedang mengurus keperluan di kantor layanan umum.
                Rasa gembira semburat ada dalam rona wajah saya dari headline Koran tersebut. Mungkin, karena penulis merasa ada sebuah harapan baru dari seorang pejabat publik yang selama ini sangat diharapkan oleh masyarakat terhadap layanan ‘prima’ yang seharusnya diberikan oleh pejabat publik pada umumnya.
                Kenapa pejabat publik harus humanis atau mengapa masyarakat menuntutnya? Ini mungkin pertanyaan besar yang harus diuraikan disini. Tidak lain karena mereka dibayar oleh Negara untuk melayani masyarakat. Dan Negara mendapatkan dana untuk menggaji pejabat publik dari, diantaranya adalah, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat ke pemerintah.
                Mungkin ada pejabat yang ‘ngeles’ dengan mengatakan ‘saya ini kerja, kalau nggak berhasil nanti akan kena marah oleh ‘bos saya’ sehingga kemudian harus melakukan segala cara untuk melakukan pekerjaan secara cepat dengan tidak mengedepankan sisi manusianya’. Tapi ini perkiraan penulis, mungkin juga nggak seperti anggapan penulis. Tapi kemudian ada pertanyaan lanjutan, ‘’yang menyuruh mereka jadi pejabat publik siapa?’’.  Maka harus dipahami bahwa pejabat publik itu digaji dari sebagian uang rakyat dan untuk melayani rakyat. Apakah pelayan rakyat itu harus seperti itu dalam melayani masyarakat yang dalam hal ini adalah ‘’bosnya’’. Ini adalah baru sebagian pertanyaan kecil dari penulis.
                Public care atau public watch?
                Untuk mengantisipasi pejabat publik yang kurang ramah dalam melayani bosnya atau dalam hal ini adalah masyrakat yang memerlukan jasanya, mungkin perlu adanya kesadaran dari masyarakat sebagai pengguna jasa pejabat publik untuk bisa menegur dan melaporkan kepada atasannya yang lebih tinggi sebagai suatu bentuk dari public care atau public watch dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Atau perlukah sebuah aplikasi yang terhubung langsung kepada atasan atas skinerja layanan yang diberikan kepada masyarakat sehingga para pegawai pemerintah bisa bekerja dengan baik dan ramah dalam melayani masyarakat. Sebagian masyarakat kita sudah pintar dengan merekam kejadian yang ada dan diunggah dalam dunia maya. Tapi nggak semuanya sempat dan merekam kejadian perkara.
                Sebagai pembanding, mungkin kita bisa mengambil pelajaran di luar Indonesia, dimana masyarakat punya kesadaran yang sangat tinggi terhadap pengawasan layanan publik. Mungkinkah suatu saat masyarakat dibolehkan untuk mengusulkan kepada pemerintah ketika melihat pejabat publik yang tidak humanis dalam memberikan layanan kepada masyarakat kemudian bisa melaporkan dan mengusulkan agar pejabat itu diganti yang lebih humanis?

                Yang jelas, masyarakat kita mendambakan pejabat publik yang humanis dan semoga niat kepala SATPOLL PP yang baru, bapak Ahmad Ismail, bisa terlaksana dan diikuti oleh yang lainnya. Bagaimanapun juga, pemerintahan itu bisa berjalan dengan baik adalah karena fungsi kelembagaan yang berjalan sesuai dengan rasa kemanusiaan yang ada pada diri manusia. Bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar