Pejabat Publik Yang Humanis
CATATAN
Ali Muttaqin Syuryanto, M.Pd
(Pendidik dan pengamat sosial)
Tergelitik
hati pagi ini ketika melihat Koran pagi Berau Pos, Rabu 11 Januari 2017, rasa
penasaran memang dan ingin segera
menyambar dan membacanya. Yang membuat tergelitik untuk segera
membacanya adalah kata ‘humanis’ yang dipakai oleh wartawan dalam menulis
headline beritanya.
Mungkin
saja atau hampir jarang kita temui kata itu atau karena kata itu yang
seharusnya selalu ada dalam diri kita baik sebagai pejabat publik atau masyarakat
biasa ketika kita berhadapan dengan orang lainnya. Atau munhgkin karena
banyaknya kasus atau pengalaman yang kita dapatkan bahwa banyak pejabat publik
atau sebagian besar yang bermuka masam ketika berhadapan dengan masyarakat yang
sedang mengurus keperluan di kantor layanan umum.
Rasa
gembira semburat ada dalam rona wajah saya dari headline Koran tersebut.
Mungkin, karena penulis merasa ada sebuah harapan baru dari seorang pejabat publik
yang selama ini sangat diharapkan oleh masyarakat terhadap layanan ‘prima’ yang
seharusnya diberikan oleh pejabat publik pada umumnya.
Kenapa
pejabat publik harus humanis atau mengapa masyarakat menuntutnya? Ini mungkin
pertanyaan besar yang harus diuraikan disini. Tidak lain karena mereka dibayar
oleh Negara untuk melayani masyarakat. Dan Negara mendapatkan dana untuk
menggaji pejabat publik dari, diantaranya adalah, pajak yang dibayarkan oleh
masyarakat ke pemerintah.
Mungkin
ada pejabat yang ‘ngeles’ dengan mengatakan ‘saya ini kerja, kalau nggak
berhasil nanti akan kena marah oleh ‘bos saya’ sehingga kemudian harus
melakukan segala cara untuk melakukan pekerjaan secara cepat dengan tidak
mengedepankan sisi manusianya’. Tapi ini perkiraan penulis, mungkin juga nggak
seperti anggapan penulis. Tapi kemudian ada pertanyaan lanjutan, ‘’yang
menyuruh mereka jadi pejabat publik siapa?’’.
Maka harus dipahami bahwa pejabat publik itu digaji dari sebagian uang
rakyat dan untuk melayani rakyat. Apakah pelayan rakyat itu harus seperti itu
dalam melayani masyarakat yang dalam hal ini adalah ‘’bosnya’’. Ini adalah baru
sebagian pertanyaan kecil dari penulis.
Public care
atau public watch?
Untuk
mengantisipasi pejabat publik yang kurang ramah dalam melayani bosnya
atau dalam hal ini adalah masyrakat yang memerlukan jasanya, mungkin perlu
adanya kesadaran dari masyarakat sebagai pengguna jasa pejabat publik untuk
bisa menegur dan melaporkan kepada atasannya yang lebih tinggi sebagai suatu
bentuk dari public care atau public watch
dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Atau perlukah sebuah aplikasi yang
terhubung langsung kepada atasan atas skinerja layanan yang diberikan kepada
masyarakat sehingga para pegawai pemerintah bisa bekerja dengan baik dan ramah
dalam melayani masyarakat. Sebagian masyarakat kita sudah pintar dengan merekam
kejadian yang ada dan diunggah dalam dunia maya. Tapi nggak semuanya sempat dan
merekam kejadian perkara.
Sebagai
pembanding, mungkin kita bisa mengambil pelajaran di luar Indonesia, dimana
masyarakat punya kesadaran yang sangat tinggi terhadap pengawasan layanan publik.
Mungkinkah suatu saat masyarakat dibolehkan untuk mengusulkan kepada pemerintah
ketika melihat pejabat publik yang tidak humanis dalam memberikan layanan
kepada masyarakat kemudian bisa melaporkan dan mengusulkan agar pejabat itu
diganti yang lebih humanis?
Yang
jelas, masyarakat kita mendambakan pejabat publik yang humanis dan semoga niat
kepala SATPOLL PP yang baru, bapak Ahmad Ismail, bisa terlaksana dan diikuti
oleh yang lainnya. Bagaimanapun juga, pemerintahan itu bisa berjalan dengan
baik adalah karena fungsi kelembagaan yang berjalan sesuai dengan rasa
kemanusiaan yang ada pada diri manusia. Bukan sebaliknya.
Komentar
Posting Komentar